Judul : ALIRAN FUNGSIONALISME SRTUKTURAL
link : ALIRAN FUNGSIONALISME SRTUKTURAL
ALIRAN FUNGSIONALISME SRTUKTURAL
A. PERKEMBANGAN ALIRAN FUNGSIONALISME SRTUKTURAL
1. Aliran fungsionalisme struktural Branislaw Malinowski
Aliran fungsionalisme struktural berkembang di Inggris, dan kemudian di Amerika pada abad ke-18, seirama dengan perkembangan aliran-aliran baru di dalam jajaran antropologi budaya. Sumbangannya yang terpenting di dalam studi kedudayaan adalah pada temuan konseptualnya mengenai peranan kebudayaan di dalam kehidupan manusia, baik yang primitif maupun yang modern.
Fungsionalisme struktural menjadi satu maszhab di dalam antropologi budaya yang semakin kuat melalui sentuhan Branislaw Malinowski (1884-1942), di dalam penelitian di masyarakat Trobrian. Dalam pandangan ahli antropologi kelahiran Polandia ini, di mana-mana manusia mempunyai kebutuhan bersama yang bersifat biologis dan psikologis. Fungsi kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Malinowski membagi kebutuhan manusia dalam tiga hal, yaitu kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebuthan pangan dan prokreasi; kebudayaan juga harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan hukum dan pendidikan; dan kebudayaan juga harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.
Sebenarnya, pemikiran Malinowski banyak dipengaruhi oleh William James. Salah satu bukti pengaruh itu adalah ketika ia beranggapan bahwa “teori budaya harus diawali dari kebutuhan organis manusia”. Meskipun demikian, dalam pandangan Nadel, ada dua kelemahan Malinowski dalam merumuskan pandangan teoritiknya, yaitu ketidak konsistenannya dalam membuat asusmsi teoritik yang dalam hal ini adalah hasil etnografinya tentang masyarakat Trobrian yang sangat spesifik—institusi Trobrian dan cara mengintregrasikannya—dan kemudian dipakai untuk menjelaskan tentang budaya manusia pada umumnya atau melompat dari penduduk Trobrian ke humanitas.
Masyarakat Trobroni, sebagaimana etnografi Malinowski adalah sebuah masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan magis dan sihir. Orang yang mati dapat menempati salah satu dari dua posisi, menjadi hantu roh yang gentayangan atau menjadi jiwa (soul atau Baloma). Soul ini menempati pulau Tuma dan hidup sebagaimana kehidupan di dunia ini. Jika soul menjadi tua maka ia dapat berganti kulit untuk menjadi muda kembali dan melalui prosesi tertentu soul itu dapat masuk ke vagina perempuan sehingga perempuan tersebut dapat hamil. Untuk itu, meskipun perempuan telah bersuami dan melakukan hubungan seksual jika suol itu tidak masuk rahim perempuan maka perempuan tidak akan hamil. Dan keyakinan ini bermakna bahwa adat matrilineal memperoleh penjelasan. Melalui kajiannya ini, didapatkan sebuah karya penting, Magic, Science, and Religion, yang mengelaborasi bahwa tidak ada suatu komunitas yang tidak memiliki agama atau magi, dan masyarakat primitif pun juga memiliki kemampuan ilmiah sesuai dengan takarannya.[1]
2. Aliran fungsionalisme struktural Atrhur Reginald Radcliffe-Brown
Seperti Malinowski, Atrhur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tapi berlainan dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.
Satu contoh kongkret dari pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah analisanya tentang cara penanggulangan mengenai ketegangan yang cenderung timbul di antara orang-orang yang terikat karena perkawinan, yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda-beda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya orang beripar atau besanan, dia mengemukakan, bahwa masyarakat dapat melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan bertemu muka di antara orang yang mempunyai hubungan ipar/mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat misalnya, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemungkinan kedua menurut R. Brown, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu konflik antaranggota-anggota keluarga ini dapat dihindari dan unsur budaya yang bersangkutan, yaitu aturan ketat pada orang Navajo dan lelucon pada orang Amerika Kulit putih, berfungsi dalam menjaga solidaritas sosial dari masyarakat di mana unsur itu terdapat.
Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalis struktural ini adalah sulitnya untuk menentukan apakah satu kebiasaan tertentu pada nyatanya berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat. Dalam biologi, bagaimana sumbangan dari satu organ terhadap kesehatan tubuh manusia atau kehidupan binatang dapat dinilai dengan misalnya mencoba menghilangkan organ tersebut. Tapi kita tidak dapat meniadakan satu unsur budaya dari suatu masyarakat bersangkutan. Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu tidak ada kaitan apa-apa dengan pemeliharaan struktur masyarakat atau mungkin semua kebiasaan dalam satu masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa dalam satu masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat tersebut pada saat itu “jalan” atau berfungsi. Dan sekiranya pun kita berhasil “menilai” apakah suatu kebiasaan tertentu berfungsi, namin orientasi teoretis ini tek berhasil memberi penjelasan mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan kebutuhan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentunya bagi satu masalah tertentu tidaklah seharusnya dipecahkan menurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa pilihan dijatuhkan pada satu cara dari antara sekian alternatif yang ada.[2]
3. Aliran fungsionalisme struktural Talcot Parson
Dalam menganalisis fenomena sosial masyarakat, dikenal teori fungsionalisme struktural yang dirumuskan oleh Talcot Parson. Teori ini menyatakan bahwa keberlangsungan atau keharmonisan suatu masyarakat akan terpenuhi manakala setiap individu dalam masyarakat harus memiliki empat subsistem yang memenuhi pasyarat-pasyarat fungsional tertentu. Pertama,penyesuaian masyarakat dengan alam sekitar, artinya menunjuk pada keharusan bagi setiap individu untuk menghadapi lingkungannya dengan mencocokkan diri dengannya. Kedua, pencapaian tujuan, cara para anggota sebuah masyarakt sebagai individu dimungkinkan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Ketiga, integrasi atau kesatuan adalah persyaratan yang terhubungan dengan interelasi antara anggotanya dalam sistem sosial itu. Agar sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai satu kesatuan, harus ada paling tidak suatu tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamya. Keempat, pemeliharaan pola untuk menjamin bahwa para individu menginternalisasikan dan secara sukarela mematuhi norma-norma masyarakat tempat mereka dibesarkan (Campbel, 1921: 225).[3]
Pendekatan fungsionalisme struktur berusaha memahami perubahan-perubahan sosial dalam analisis-analisisnya. Namun karena fungsionalisme struktur cenderung menihat masyarakat sebagai suatu organisasi yang selalu berusaha keras menciptakan keseimbangan dalam dirinya, yang dikenal dengan model equilibrium, maka usaha untuk menjelaskan perubahan sosial tidak sepenuhnya tercapai. Perhatian mereka terutama tertuju pada kaitan fungsional dari berbagai bagian suatu sistem, apakah itu suatu masyarakat luas atau keluarga. Di dalam pandangan mereka, stabilitas dan keteraturan dipandang sebagai suatu gejala penyimpangan dan bagi mereka merupakan suatu bukti bahwa sistem tidak berfungsi dengan baik. Karena tekanannya yang terlalu berat atas konsensus dan kerja sama, fungsionalisme struktur ini dianggap kurang berhasil menjelaskan perubahan-perubahan sosial dan bahkan cenderung mempertahankan status quo. Kedua ciri tadi, yaitu usaha untuk memahami perubahan di satu pihak dan kecenderungan untuk mempertahankan status quo di lain pihak, telah menyebabkan penganut pendekatan struktural fungsional ini terjebak ke dalam evolusionisme a la Darwinisme Sosial, yang oleh Scoot disebut sebagai “functional ahistoricism”.[4]
4. Teori fakta sosial fungsionalisme struktural:
1. Teori ini menekankan keteraturan (Order), mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Yang menjadi konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium).
2. Masyarakat metupakan suatu sistem sosial, yang terdiri atas bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lainnya.
3. Asumsinya, bahwa setiap struktur dalam sistem sosial berfungsi terhadap sistem yang lainnya (fungsional). Sebaliknya kalau struktur itu tidak fungsional maka akan hilang atau tidak ada dengan sendirinya.
4. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lainnya, yang dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lain dalam suatu sistem sosial.[5]
[1] Dr. Nur Syam, Madzhab-Madzhab Antropologi, cet. Ke-1 (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007), hlm 32.
[2] Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, cet. Ke-2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) hlm 61-62.
[3] Setiawan dan M. Nur Kholis, Meniti Kalam Kerukunan, cet. Ke-1 (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), hlm 256.
[4] Paulus Tangdilintin, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, cet. Ke-2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) Hlm 8.
[5] Yesril Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hlm 69.
1. Aliran fungsionalisme struktural Branislaw Malinowski
Aliran fungsionalisme struktural berkembang di Inggris, dan kemudian di Amerika pada abad ke-18, seirama dengan perkembangan aliran-aliran baru di dalam jajaran antropologi budaya. Sumbangannya yang terpenting di dalam studi kedudayaan adalah pada temuan konseptualnya mengenai peranan kebudayaan di dalam kehidupan manusia, baik yang primitif maupun yang modern.
Fungsionalisme struktural menjadi satu maszhab di dalam antropologi budaya yang semakin kuat melalui sentuhan Branislaw Malinowski (1884-1942), di dalam penelitian di masyarakat Trobrian. Dalam pandangan ahli antropologi kelahiran Polandia ini, di mana-mana manusia mempunyai kebutuhan bersama yang bersifat biologis dan psikologis. Fungsi kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Malinowski membagi kebutuhan manusia dalam tiga hal, yaitu kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebuthan pangan dan prokreasi; kebudayaan juga harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan hukum dan pendidikan; dan kebudayaan juga harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.
Sebenarnya, pemikiran Malinowski banyak dipengaruhi oleh William James. Salah satu bukti pengaruh itu adalah ketika ia beranggapan bahwa “teori budaya harus diawali dari kebutuhan organis manusia”. Meskipun demikian, dalam pandangan Nadel, ada dua kelemahan Malinowski dalam merumuskan pandangan teoritiknya, yaitu ketidak konsistenannya dalam membuat asusmsi teoritik yang dalam hal ini adalah hasil etnografinya tentang masyarakat Trobrian yang sangat spesifik—institusi Trobrian dan cara mengintregrasikannya—dan kemudian dipakai untuk menjelaskan tentang budaya manusia pada umumnya atau melompat dari penduduk Trobrian ke humanitas.
Masyarakat Trobroni, sebagaimana etnografi Malinowski adalah sebuah masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan magis dan sihir. Orang yang mati dapat menempati salah satu dari dua posisi, menjadi hantu roh yang gentayangan atau menjadi jiwa (soul atau Baloma). Soul ini menempati pulau Tuma dan hidup sebagaimana kehidupan di dunia ini. Jika soul menjadi tua maka ia dapat berganti kulit untuk menjadi muda kembali dan melalui prosesi tertentu soul itu dapat masuk ke vagina perempuan sehingga perempuan tersebut dapat hamil. Untuk itu, meskipun perempuan telah bersuami dan melakukan hubungan seksual jika suol itu tidak masuk rahim perempuan maka perempuan tidak akan hamil. Dan keyakinan ini bermakna bahwa adat matrilineal memperoleh penjelasan. Melalui kajiannya ini, didapatkan sebuah karya penting, Magic, Science, and Religion, yang mengelaborasi bahwa tidak ada suatu komunitas yang tidak memiliki agama atau magi, dan masyarakat primitif pun juga memiliki kemampuan ilmiah sesuai dengan takarannya.[1]
2. Aliran fungsionalisme struktural Atrhur Reginald Radcliffe-Brown
Seperti Malinowski, Atrhur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tapi berlainan dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.
Satu contoh kongkret dari pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah analisanya tentang cara penanggulangan mengenai ketegangan yang cenderung timbul di antara orang-orang yang terikat karena perkawinan, yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda-beda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya orang beripar atau besanan, dia mengemukakan, bahwa masyarakat dapat melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan bertemu muka di antara orang yang mempunyai hubungan ipar/mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat misalnya, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemungkinan kedua menurut R. Brown, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu konflik antaranggota-anggota keluarga ini dapat dihindari dan unsur budaya yang bersangkutan, yaitu aturan ketat pada orang Navajo dan lelucon pada orang Amerika Kulit putih, berfungsi dalam menjaga solidaritas sosial dari masyarakat di mana unsur itu terdapat.
Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalis struktural ini adalah sulitnya untuk menentukan apakah satu kebiasaan tertentu pada nyatanya berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat. Dalam biologi, bagaimana sumbangan dari satu organ terhadap kesehatan tubuh manusia atau kehidupan binatang dapat dinilai dengan misalnya mencoba menghilangkan organ tersebut. Tapi kita tidak dapat meniadakan satu unsur budaya dari suatu masyarakat bersangkutan. Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu tidak ada kaitan apa-apa dengan pemeliharaan struktur masyarakat atau mungkin semua kebiasaan dalam satu masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa dalam satu masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat tersebut pada saat itu “jalan” atau berfungsi. Dan sekiranya pun kita berhasil “menilai” apakah suatu kebiasaan tertentu berfungsi, namin orientasi teoretis ini tek berhasil memberi penjelasan mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan kebutuhan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentunya bagi satu masalah tertentu tidaklah seharusnya dipecahkan menurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa pilihan dijatuhkan pada satu cara dari antara sekian alternatif yang ada.[2]
3. Aliran fungsionalisme struktural Talcot Parson
Dalam menganalisis fenomena sosial masyarakat, dikenal teori fungsionalisme struktural yang dirumuskan oleh Talcot Parson. Teori ini menyatakan bahwa keberlangsungan atau keharmonisan suatu masyarakat akan terpenuhi manakala setiap individu dalam masyarakat harus memiliki empat subsistem yang memenuhi pasyarat-pasyarat fungsional tertentu. Pertama,penyesuaian masyarakat dengan alam sekitar, artinya menunjuk pada keharusan bagi setiap individu untuk menghadapi lingkungannya dengan mencocokkan diri dengannya. Kedua, pencapaian tujuan, cara para anggota sebuah masyarakt sebagai individu dimungkinkan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Ketiga, integrasi atau kesatuan adalah persyaratan yang terhubungan dengan interelasi antara anggotanya dalam sistem sosial itu. Agar sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai satu kesatuan, harus ada paling tidak suatu tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamya. Keempat, pemeliharaan pola untuk menjamin bahwa para individu menginternalisasikan dan secara sukarela mematuhi norma-norma masyarakat tempat mereka dibesarkan (Campbel, 1921: 225).[3]
Pendekatan fungsionalisme struktur berusaha memahami perubahan-perubahan sosial dalam analisis-analisisnya. Namun karena fungsionalisme struktur cenderung menihat masyarakat sebagai suatu organisasi yang selalu berusaha keras menciptakan keseimbangan dalam dirinya, yang dikenal dengan model equilibrium, maka usaha untuk menjelaskan perubahan sosial tidak sepenuhnya tercapai. Perhatian mereka terutama tertuju pada kaitan fungsional dari berbagai bagian suatu sistem, apakah itu suatu masyarakat luas atau keluarga. Di dalam pandangan mereka, stabilitas dan keteraturan dipandang sebagai suatu gejala penyimpangan dan bagi mereka merupakan suatu bukti bahwa sistem tidak berfungsi dengan baik. Karena tekanannya yang terlalu berat atas konsensus dan kerja sama, fungsionalisme struktur ini dianggap kurang berhasil menjelaskan perubahan-perubahan sosial dan bahkan cenderung mempertahankan status quo. Kedua ciri tadi, yaitu usaha untuk memahami perubahan di satu pihak dan kecenderungan untuk mempertahankan status quo di lain pihak, telah menyebabkan penganut pendekatan struktural fungsional ini terjebak ke dalam evolusionisme a la Darwinisme Sosial, yang oleh Scoot disebut sebagai “functional ahistoricism”.[4]
4. Teori fakta sosial fungsionalisme struktural:
1. Teori ini menekankan keteraturan (Order), mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Yang menjadi konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium).
2. Masyarakat metupakan suatu sistem sosial, yang terdiri atas bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lainnya.
3. Asumsinya, bahwa setiap struktur dalam sistem sosial berfungsi terhadap sistem yang lainnya (fungsional). Sebaliknya kalau struktur itu tidak fungsional maka akan hilang atau tidak ada dengan sendirinya.
4. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lainnya, yang dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lain dalam suatu sistem sosial.[5]
[1] Dr. Nur Syam, Madzhab-Madzhab Antropologi, cet. Ke-1 (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007), hlm 32.
[2] Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, cet. Ke-2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) hlm 61-62.
[3] Setiawan dan M. Nur Kholis, Meniti Kalam Kerukunan, cet. Ke-1 (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), hlm 256.
[4] Paulus Tangdilintin, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, cet. Ke-2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) Hlm 8.
[5] Yesril Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hlm 69.