Judul : CERPEN ANTARA SEPTEMBER DAN OKTOBER
link : CERPEN ANTARA SEPTEMBER DAN OKTOBER
CERPEN ANTARA SEPTEMBER DAN OKTOBER
CERPEN
ANTARA SEPTEMBER DAN OKTOBER
Esha Dewandaru
Antara September dan Okober. Sepertinya mentari masih akan enggan singgah sampai akhir Februari nanti. Awan putih akhir-akhir ini selalu menyelimuti bumi sembari menurunkan titik air, disertai angin yang menghembuskan udara dingin yang menembus sampai sum-sum tulang.
Cewek yang memakai sweater biru itu biasa dipanggil Rhea. Dia berada di tingkat akhir dunia persekolahan, dengan kata lain dia duduk di kelas XII SMA.
“Rhea, sini!” panggil Iva saat Rhea berjalan di koridor depan kelas.
“Kenapa, Va?” tanya Rhea sembari berbelok menghampiri Iva.
“Loe mau kemana?” Iva balik nanya setelah Rhea duduk di sampingnya.
“Ya mau ke kelas dong, gimana sih loe? Eh, ya ampun! Kelas kita kan di sini ya? Aduh, bego banget sih, gue?”
“Emang loe bego, baru nyadar? Inget, ini kelas kita. Baca tuh. ‘Kelas XII IPA 1’. Awas kalo besok loe masih nyasar!”
Rhea menengadah ke atas pintu. Di sana tergantung papan kecil berukirkan nama kelas XII IPA 1.
“He...he... pikiran gue masih lengket sama kelas XI IPA nih, Va.”
“Ow... ow... gue tau, gue tau!” sorak Iva.
“Tau apa?”
“Dulu di XI IPA kan ada Yogi kan? Iya kan? Hayo ngaku, hayo ngaku!”
“Iva apaa sih? Bukannya Yogi tuh suka sama loe?”
“Eh, apa iya?” tanya Iva. Ekspresinya langsung berubah.
“Au. Iya kali,” jawab Rhea. Iva geram. Rhea tertawa berhasil mengusili sahabatnya itu dan ia berlari masuk kelas menghindari cubitan maut Iva yang biasa mendarat di pipi. Iva mengejar di belakang Rhea, tiba-tiba....
‘Bruk!!!’
‘Gedebuk!!!!’
“Rhea....”
Rhea terpaku menatap seorang cowok di depannya. Rasa sakit di bokongnya karena jatuh setelah baru saja tabrakan dengan cowok itu di pintu tidak terasa lagi.
“Kena loe!” seru Iva sembari mencubit pipi Rhea dari belakang, membuat Rhea tersadar akan keadaannya. Dia berdiri sambil tersipu dan cowok itu juga berdiri di saat yang sama.
“Sorry....” ujar Rhea pelan sembari menunduk. Dia benar-benar malu.
“Nggak apa-apa,” sahut cowok itu lalu melangkah ke luar kelas.
“Gara-gara loe sih, Va... Gue jadi nabrak Satria,” gerutu Rhea kesal.
“Salah sendiri lari nggak lihat-lihat, weee....” Iva menjulurkan lidah.
“Jelek tau!”
“Cantik kok. Sini Rhe, loe duduk sam gue.”
“Oke. Eh iya Va, kemaren udah di kasih jadwal pelajaran belum?”
“Belum. Yaelah, semangat bener sih loe mau belajar?”
“Bukannya gitu juga Va. O iya, struktur kelasnya gimana?”
“Udah dibentuk. Wali kelas kita Pak Ipul. Ketua kelasnya Davy. Wakilnya Satria.”
“Satria?”
“Iya, Satria. Satria yang loe tabrak barusan di pintu.”
“Rugi banget ya, gue kemaren gak masuk.”
“Ya gitu deh. Emang kemaren loe kemana sih, Rhe?”
“Itu lho Va, ngurus legalisir fotokopian ijazah buat persyaratan UN. Gue kan pindahan.”
“Kenapa nggak diurus pas liburan, Rhe? Kan kita liburnya lama, 3 minggu.”
“Maunya sih, tapi nggak sempat. Abang gue dioperasi, gue harus jagain dia di rumah sakit.”
“Operasi apa? Caesar?”
“Sembarangan loe! Masa abang gue operasi caesar?”
“Ya kali aja, he... he... emang abang loe kenapa, Rhe?”
“Kaki kanannya diamputasi. Dia kan jagoan, jago nyungsep di jalan, he... he....”
Saat mereka asyik ngobrol, Satria masuk kelas dan berjalan lewat di depan meja Rhea. Rhea mengikuti langkah Satria dengan matanya sampai Satria tiba di bangkunya dan duduk manis di pojok belakang kelas.
“O... Satria duduknya di sana,” gumam Rhea dalam hati.
Satria memang cakep, setidaknya di mata Rhea. Satria jadi amat sangat istimewa, membuat Rhea merasa jatuh cinta. Padahal Satria itu... meski tidak bisa dibilang badung, tapi dia itu lumayan badung di kelas. Suka asal njeplak alias nyeletuk, lidahnya enteng banget dan suaranya paling cempreng dan paling kencang sekelas. Tapi dia pinter, dan... lumayan cakep sih... Hal terakhir itu yang membuat Rhea ingin selalu meletakkan bola matanya di pojok belakang kelas, biar bisa memandangi Satria sepanjang waktu.
Rasa cinta Rhea mulai meningkat saat dia dihukum guru mata pelajaran Bahasa Perancis gara-gara tidak sanggup menghafal beberapa kata kerja dalam bahasa Perancis beserta turunan subjeknya. Belajar bahasa Perancis itu, menurut Rhea, bikin lidahnya keseleo. Dia dihukum harus berdiri di depan kelas sampai bisa hafal. Rhea senang sekali. Dihukum malah senang? Iya, soalnya di antara tujuh anak XII IPA 1 yang dihukum itu, salah duanya adalah dia dan Satria. Jadinya kan tidak terlalu malu di depan orang yang disuka.
“Gue tuh sebenarnya udah hafal, tapi lupa lagi,” bisik Rhea.
“Yaelah, sama aja non. Gue juga bisa kalo Cuma bilang gitu,” sahut Satria.
“Ada apa itu bisik-bisik?!” tegur Mademoiselle Brenda.
“Kan menghafal, Bu,” ujar Rhea.
“Apa? Ibu? Berkali-kali saya bilang jangan panggil saya Ibu. Panggil Mademoisella Brenda. Ngerti?!”
“Kepanjangan banget sih. Setahu saya dari zaman dahulu kala sampai saat ini yang namanya panggilan itu kependekan dari nama asli deh,” bantah Satria.
“Silent, Satria!!!”
Rhea senyum-senyum sendiri. Berani sekali pangerannya ini membantah Mademoiselle Brenda yang lumayan galak itu.
Mademoiselle Brenda memanggil siswanya satu per satu menghafal kata kerja sesuai subjeknya yang diperintahkan minggu lalu. Bahasa Perancis diajarkan setiap hari Sabtu, jam pelajaran terakhir pula. Siswa yang lain sudah hafal semua dan mereka diperbolehkan pulang, tinggallah Rhea dan Satria yang masih berdiri di depan kelas dalam pengawasan Mademoiselle Brenda. Akhirnya biar cepat pulang mereka disuruh menyebutkan kata-kata itu bersamaan.
Rhea dan Satria saling melengkapi, makanya meskipun bersamaan suara mereka tidak tidak terdengar bersamaan. Kalau Rhea tidak hafal, suara Satria yang terdengar. Begitu pula sebaliknya.
“Suara loe kalah sama suara Satria, Rhe,” bisik Iva saat Rhea sudah duduk manis di sampingnya.
“Bisa aja loe, Va. Ya jelas kalah, suara Satria kenceng banget,” sahut Rhea.
“Tapi itu suara pelan dia lho, Rhe. Coba kalo teriak, gimana ya?”
“Gedung ini runtuh kali ya, kalo dia teriak. Runtuh karena gelombang suaranya yang maha dahsyat.”
“Hi...hi...hi...”
“Rhea!”
“Moi, Mademoiselle Brenda, ampun... maaf... sorry... pardon....”
“Loe kenapa sih, Rhe?” tanya seorang cowok yang suaranya sangat Rhea kenal.
“Hah? Oh, eh, nnggg.... anu... eh, gue... eh, loe... eh, ada apa Satria?” tanya Rhea gugup.
“Loe tuh yang ada apa? Ngelamun ya? Ngelamunin apaan sih? Segitu kagetnya gue panggil.”
“Loe! Eh bukan, bukan! Gue nggak ngelamun kok. Beneran! Sumpah!” Rhea panik.
“Ih, muka loe sampe merah gitu. Kan terserah loe mau ngelamun atau mau apa.”
“Loe ke sini mau ngapain sih?” tanya Rhea harap-harap cemas. Ada apa Satria jauh-jauh dari pojok belakang sana datang menghampirinya yang duduk di deretan paling depan?
“Pake nanya gue ke sini mau ngapain? Itu... gue mau ambil buku gue yang loe pinjem. Tuh, di bawah siku loe. Udah selesai belum pinjemnya?” tanya Satria sembari menunjuk bukunya yang tertindih siku Rhea.
“Eh iya, he... he... gue lupa. Belum di salin nih. Gue bawa pulang aja deh, ya? Pliiiiissss....”
“Ngg... gimana ya? Mmm.... oke deh, tapi sekalian kerjain ya, PR gue.”
“Waduh! Oke deh, oke, oke ntar gue kerjain.”
“By the way loe tadi kenapa pake nyebut Mademoiselle Brenda segala? Kan udah pindah orangnya?” tanya Satria. Wajah Rhea memerah mendengar pertanyaan itu. ‘Aduh... jangan sampe Satria tau gue ngelamunin dia...’ batin Rhea memohon.
“Rhe... yah, loe ngelamun lagi. Kesambet loe ntar, Rhe.”
“Ah, nggak. Nggak kok, nggak apa-apa.”
“Ya udah. Inget lho, besok bawa tuh buku gue. PR-nya jangan lupa!”
“Oke, siap!” sahut Rhea sembari memamerkan senyum termanis, mengantarkan Satria ke pojok belakang kelas dengan matanya.
“Jadi malu nih, kok gue bisa ngelamun sampe ke awal masuk kelas ini dan pertama ketemu Satria di saat yang malu-maluin itu ya? Udah lumayan lama juga gue sekelas dan suka sama dia. Kira-kira dia tau gak ya kalo gue suka sama dia?”
“Siapa sih, Rhe?”tanya Iva yang tiba-tiba udah duduk di samping Rhea. Rupanya Iva mendengar apa yang terakhir diucapkan Rhea. Padahal Rhea sudah berusaha memelankan suaranya sepelan-pelannya, dan Iva baru datang, entah dari mana.
“Ah, bukan kok, Va. Bukan siapa-siapa,” jawab Rhea.
“Sama sobat sendiri pake rahasiaan sih, Rhe? Siapa sih yang loe suka? Dari kelas ini bukan?”
“Ah, bukan. Masa sih gue suka sama teman sekelas?” Pfffiiiuuuhhhh.... untung aja Iva nggak dengar semua omongan gue.
“Yang bener?”
“Iya. Eh, ngapain sih bahas gituan. Va, bantuin gue dong ngerjain PR ini. Please, ntar gue traktir bakso deh.” Rhea mengalihkan pembicaraan.
“Beneran? Oke deh,” ujar Iva setelah mikir beberapa saat.
“Thanks Iva, loe emang sobat gue yang paliiiiing baik,” kata Rhea sembari mencubit kedua pipi Iva gemas.
“Iya, iya semuanya juga tau kalo gue ini baik, tapi nggak usah pake nyubit dong,” protes Iva.
“Oh itu sebagai ungkapan rasa sayang gue ke loe, Va. Kerjain ya PR-nya, bye Iva...”
Dasar Rhea, dia malah main ke pojok belakang kelas. Alasannya sih mau tanya jadwal piket pada Davy, padahal sebenarnya mau dekat-dekat Satria, cowok yang dia suka diam-diam. Kebetulan waktu itu guru Kimia tidak masuk. Mereka hanya diberi tugas, dan tugas itu semua beres di tangan Iva. Sekretaris kelas yang jenius itu sudah mencatat jawaban di papan tulis, yang lain tinggal menyalin di buku tugas.
“Rhea, loe di mana sih?!” Iva bertanya dengan suara keras.
“Iya Va, gue datang....” jawab Rhea lalu buru-buru menghampiri Iva.
“Udah selesai nih, sekarang ke kantin yuk. Loe kan mau nraktir gue,” kali ini Iva agak berbisik.
“Oke deh, gue juga bosen di kelas,” sahut Rhea dengan suara pelan. Lalu teriaknya, “Satria, kita izin sebentar ya!”
“Hey mau ke mana kalian?” tanya Davy sang ketua kelas dengan nada agak tinggi.
“Aduh Davy, kita berdua kebelet nih,” jawab Iva sembari memegangi perut dengan wajah nyengir.
“Ya udah, sana cepetan. Jangan lama-lama,” sahut Satria.
Iva dan Rhea buru-buru lari ke kantin.
“Aduh Davy, kita berdua kebelet nih. Kebelet pengen makan, ha...ha...ha...” ujar Rhea dan Iva bersamaan sesampainya di kantin.
“Percaya aja tuh si Davy, padahal hampir tiap hari kita izinnya sama,” komentar Iva sembari meniup-niup baksonya.
“Satria juga. ‘Ya udah, sana cepetan. Jangan lama-lama...’ di sini maksudnya,” sambung Rhea yang sedang mengaduk-aduk bakso di mangkoknya.
Kantin sepi waktu mereka makan. Jelas, mereka kan kabur begitu saja ketika yang lain belajar di kelas.
Hening sejenak. Masing-masing menikmati bakso yang terhidang dengan khidmat. Di tengah keheningan itu terdengar suar dari atap kantin yang berbahan seng.
“Hujan, Va!” seru Rhea.
“Biarin. Toh, kita di sini aman-aman aja. Rhe, tepat banget kan pas ujan makan bakso panas,” kata Iva santai. Dia memang penggemar beratnya bola-bola daging itu.
“Ini udah tengah-tengahnya bulan September ya, Va”
“He-eh, udah masuk musim hujan. Ntar lagi banjir deh.”
“Iva! Enteng banget sih, ngomong gitu.”
“Kenapa Rhe? Bener kan?”
Mereka menikmati bakso langganan dalam diam. Suara air yang tumpah dari langit ke atap seng menenggelamkan obrolan mereka. Ketika membayar pun mereka perlu berteriak mengimbangi suara hujan.
Selesai makan mereka kembali ke kelas. Angin dingin bertiup mengiringi langkah mereka sepanjang koridor. Hujan siang itu turun cukup deras, bahkan sampai mereka pulang pun hujan belum juga reda.
Gerimis turun saat Rhea berangkat ke sekolah pagi itu. Ujung sepatunya basah terkena percikan air yang mengalir tipis di trotoar. Payung lipat warna pink motif bunga itu meindungi tubuhnya dari terpaan gerimis, tapi tidak bagi ujung sepatunya. Gerimis itu kian deras saat Rhea baru saja meletakkan tasnya di meja. Sesudah itu dia ke luar dan duduk di bangku panjang koridor.
“Satria kok belum datang ya? Tumben udah jam segini dia belum muncul, padahal biasanya duluan dia yang datang dari pada gue,” batin Rhea sambil mengarahkan matanya ke pintu gerbang sekolah. Udara dingin yang menusuk membuat Rhea merapatkan jaket bulu yang dipakainya. Di dalam kelas lebih hangat sebenarnya, tapi niat menunggu Satria membuat Rhea tetap bertahan di luar.
“Nunggu siapa sih, Rhe? Dari tadi mata loe ke gerbang melulu,” tanya Iva yang baru datang dari kantin. Dia baru sarapan di kantin.
“Ah, nggak nunggu siapa-siapa kok, Va,” jawab Rhea dan sejenak mengalihkan pandang dari pintu gerbang sekolah.
Baru saja Iva duduk di samping Rhea, seorang cowok menghampiri mereka.
“Iva! Loe sekretaris kelas XII IPA 1 kan?” tanya cowok itu.
“Iya. Kenapa, Gi?” Iva balik tanya.
“Nih, ada titipan dari Satria,” jawab Yogi sembari menyerahkan amplop putih yang sedikit basah kena air hujan.
“Makasih ya, Gi,” kata Iva.
“Oke,” sahut Yogi lalu berlari kecil ke kelasnya.
“Dari Satria? Coba lihat, Va,” ujar Rhea langsung merebut amplop putih itu dari tangan Iva. Dalam hati ia cemburu, kenapa Satria menitipkan surat untuk Iva, bukan untuknya. Cepat-cepat disobeknya ujung amplop dan dibacanya isinya. Selesai membaca surat dari Satria, Rhea mengembalikan surat itu dengan wajah cemberut.
“Kenapa, Rhe? Apa kata suratnya?” tanya Iva heran.
“Baca aja sendiri!”
“O... Satria sakit, jadi nggak masuk. Gue masuk dulu ya, Rhe, mau ngisi jurnal kelas.”
Satria sakit? Duh, tambatan mata di pojok belakang kelas itu tidak masuk. Kursi di pojok belakang kelas itu kosong selama beberapa hari.
Tiap kali Rhea melihat ke pojok belakang kelas, yang dilihatnya hanya kursi kosong. Tak ada pemilik wajah handsome itu di sana. Rhea jadi pediam dan seperti tidak memiliki semangat hidup selama Satria tidak masuk.
“Dav, kita nggak jenguk Satria?” tanya Rhea saat istirahat.
“Jauh, Rhea. Gue udah nelpon dia, dia bilang dia nggak apa-apa. Sakitnya ringan, tapi mamanya nggak ngasih izin dia pergi. Loe tau sendiri dia itu anak cowok satu-satunya, bungsu pula,” jawab Davy. “Kenapa sih, Rhe? Kayaknya selama Satria nggak masuk loe kelihatan murung terus.”
“Ah, masa sih? Nggak apa-apa, gue baik-baik aja. Ya udah kalo gitu, makasih.”
Antara September dan Okober. Sepertinya mentari masih akan enggan singgah sampai akhir Februari nanti. Awan putih akhir-akhir ini selalu menyelimuti bumi sembari menurunkan titik air, disertai angin yang menghembuskan udara dingin yang menembus sampai sum-sum tulang.
Cewek yang memakai sweater biru itu biasa dipanggil Rhea. Dia berada di tingkat akhir dunia persekolahan, dengan kata lain dia duduk di kelas XII SMA.
“Rhea, sini!” panggil Iva saat Rhea berjalan di koridor depan kelas.
“Kenapa, Va?” tanya Rhea sembari berbelok menghampiri Iva.
“Loe mau kemana?” Iva balik nanya setelah Rhea duduk di sampingnya.
“Ya mau ke kelas dong, gimana sih loe? Eh, ya ampun! Kelas kita kan di sini ya? Aduh, bego banget sih, gue?”
“Emang loe bego, baru nyadar? Inget, ini kelas kita. Baca tuh. ‘Kelas XII IPA 1’. Awas kalo besok loe masih nyasar!”
Rhea menengadah ke atas pintu. Di sana tergantung papan kecil berukirkan nama kelas XII IPA 1.
“He...he... pikiran gue masih lengket sama kelas XI IPA nih, Va.”
“Ow... ow... gue tau, gue tau!” sorak Iva.
“Tau apa?”
“Dulu di XI IPA kan ada Yogi kan? Iya kan? Hayo ngaku, hayo ngaku!”
“Iva apaa sih? Bukannya Yogi tuh suka sama loe?”
“Eh, apa iya?” tanya Iva. Ekspresinya langsung berubah.
“Au. Iya kali,” jawab Rhea. Iva geram. Rhea tertawa berhasil mengusili sahabatnya itu dan ia berlari masuk kelas menghindari cubitan maut Iva yang biasa mendarat di pipi. Iva mengejar di belakang Rhea, tiba-tiba....
‘Bruk!!!’
‘Gedebuk!!!!’
“Rhea....”
Rhea terpaku menatap seorang cowok di depannya. Rasa sakit di bokongnya karena jatuh setelah baru saja tabrakan dengan cowok itu di pintu tidak terasa lagi.
“Kena loe!” seru Iva sembari mencubit pipi Rhea dari belakang, membuat Rhea tersadar akan keadaannya. Dia berdiri sambil tersipu dan cowok itu juga berdiri di saat yang sama.
“Sorry....” ujar Rhea pelan sembari menunduk. Dia benar-benar malu.
“Nggak apa-apa,” sahut cowok itu lalu melangkah ke luar kelas.
“Gara-gara loe sih, Va... Gue jadi nabrak Satria,” gerutu Rhea kesal.
“Salah sendiri lari nggak lihat-lihat, weee....” Iva menjulurkan lidah.
“Jelek tau!”
“Cantik kok. Sini Rhe, loe duduk sam gue.”
“Oke. Eh iya Va, kemaren udah di kasih jadwal pelajaran belum?”
“Belum. Yaelah, semangat bener sih loe mau belajar?”
“Bukannya gitu juga Va. O iya, struktur kelasnya gimana?”
“Udah dibentuk. Wali kelas kita Pak Ipul. Ketua kelasnya Davy. Wakilnya Satria.”
“Satria?”
“Iya, Satria. Satria yang loe tabrak barusan di pintu.”
“Rugi banget ya, gue kemaren gak masuk.”
“Ya gitu deh. Emang kemaren loe kemana sih, Rhe?”
“Itu lho Va, ngurus legalisir fotokopian ijazah buat persyaratan UN. Gue kan pindahan.”
“Kenapa nggak diurus pas liburan, Rhe? Kan kita liburnya lama, 3 minggu.”
“Maunya sih, tapi nggak sempat. Abang gue dioperasi, gue harus jagain dia di rumah sakit.”
“Operasi apa? Caesar?”
“Sembarangan loe! Masa abang gue operasi caesar?”
“Ya kali aja, he... he... emang abang loe kenapa, Rhe?”
“Kaki kanannya diamputasi. Dia kan jagoan, jago nyungsep di jalan, he... he....”
Saat mereka asyik ngobrol, Satria masuk kelas dan berjalan lewat di depan meja Rhea. Rhea mengikuti langkah Satria dengan matanya sampai Satria tiba di bangkunya dan duduk manis di pojok belakang kelas.
“O... Satria duduknya di sana,” gumam Rhea dalam hati.
Satria memang cakep, setidaknya di mata Rhea. Satria jadi amat sangat istimewa, membuat Rhea merasa jatuh cinta. Padahal Satria itu... meski tidak bisa dibilang badung, tapi dia itu lumayan badung di kelas. Suka asal njeplak alias nyeletuk, lidahnya enteng banget dan suaranya paling cempreng dan paling kencang sekelas. Tapi dia pinter, dan... lumayan cakep sih... Hal terakhir itu yang membuat Rhea ingin selalu meletakkan bola matanya di pojok belakang kelas, biar bisa memandangi Satria sepanjang waktu.
Rasa cinta Rhea mulai meningkat saat dia dihukum guru mata pelajaran Bahasa Perancis gara-gara tidak sanggup menghafal beberapa kata kerja dalam bahasa Perancis beserta turunan subjeknya. Belajar bahasa Perancis itu, menurut Rhea, bikin lidahnya keseleo. Dia dihukum harus berdiri di depan kelas sampai bisa hafal. Rhea senang sekali. Dihukum malah senang? Iya, soalnya di antara tujuh anak XII IPA 1 yang dihukum itu, salah duanya adalah dia dan Satria. Jadinya kan tidak terlalu malu di depan orang yang disuka.
“Gue tuh sebenarnya udah hafal, tapi lupa lagi,” bisik Rhea.
“Yaelah, sama aja non. Gue juga bisa kalo Cuma bilang gitu,” sahut Satria.
“Ada apa itu bisik-bisik?!” tegur Mademoiselle Brenda.
“Kan menghafal, Bu,” ujar Rhea.
“Apa? Ibu? Berkali-kali saya bilang jangan panggil saya Ibu. Panggil Mademoisella Brenda. Ngerti?!”
“Kepanjangan banget sih. Setahu saya dari zaman dahulu kala sampai saat ini yang namanya panggilan itu kependekan dari nama asli deh,” bantah Satria.
“Silent, Satria!!!”
Rhea senyum-senyum sendiri. Berani sekali pangerannya ini membantah Mademoiselle Brenda yang lumayan galak itu.
Mademoiselle Brenda memanggil siswanya satu per satu menghafal kata kerja sesuai subjeknya yang diperintahkan minggu lalu. Bahasa Perancis diajarkan setiap hari Sabtu, jam pelajaran terakhir pula. Siswa yang lain sudah hafal semua dan mereka diperbolehkan pulang, tinggallah Rhea dan Satria yang masih berdiri di depan kelas dalam pengawasan Mademoiselle Brenda. Akhirnya biar cepat pulang mereka disuruh menyebutkan kata-kata itu bersamaan.
Rhea dan Satria saling melengkapi, makanya meskipun bersamaan suara mereka tidak tidak terdengar bersamaan. Kalau Rhea tidak hafal, suara Satria yang terdengar. Begitu pula sebaliknya.
“Suara loe kalah sama suara Satria, Rhe,” bisik Iva saat Rhea sudah duduk manis di sampingnya.
“Bisa aja loe, Va. Ya jelas kalah, suara Satria kenceng banget,” sahut Rhea.
“Tapi itu suara pelan dia lho, Rhe. Coba kalo teriak, gimana ya?”
“Gedung ini runtuh kali ya, kalo dia teriak. Runtuh karena gelombang suaranya yang maha dahsyat.”
“Hi...hi...hi...”
“Rhea!”
“Moi, Mademoiselle Brenda, ampun... maaf... sorry... pardon....”
“Loe kenapa sih, Rhe?” tanya seorang cowok yang suaranya sangat Rhea kenal.
“Hah? Oh, eh, nnggg.... anu... eh, gue... eh, loe... eh, ada apa Satria?” tanya Rhea gugup.
“Loe tuh yang ada apa? Ngelamun ya? Ngelamunin apaan sih? Segitu kagetnya gue panggil.”
“Loe! Eh bukan, bukan! Gue nggak ngelamun kok. Beneran! Sumpah!” Rhea panik.
“Ih, muka loe sampe merah gitu. Kan terserah loe mau ngelamun atau mau apa.”
“Loe ke sini mau ngapain sih?” tanya Rhea harap-harap cemas. Ada apa Satria jauh-jauh dari pojok belakang sana datang menghampirinya yang duduk di deretan paling depan?
“Pake nanya gue ke sini mau ngapain? Itu... gue mau ambil buku gue yang loe pinjem. Tuh, di bawah siku loe. Udah selesai belum pinjemnya?” tanya Satria sembari menunjuk bukunya yang tertindih siku Rhea.
“Eh iya, he... he... gue lupa. Belum di salin nih. Gue bawa pulang aja deh, ya? Pliiiiissss....”
“Ngg... gimana ya? Mmm.... oke deh, tapi sekalian kerjain ya, PR gue.”
“Waduh! Oke deh, oke, oke ntar gue kerjain.”
“By the way loe tadi kenapa pake nyebut Mademoiselle Brenda segala? Kan udah pindah orangnya?” tanya Satria. Wajah Rhea memerah mendengar pertanyaan itu. ‘Aduh... jangan sampe Satria tau gue ngelamunin dia...’ batin Rhea memohon.
“Rhe... yah, loe ngelamun lagi. Kesambet loe ntar, Rhe.”
“Ah, nggak. Nggak kok, nggak apa-apa.”
“Ya udah. Inget lho, besok bawa tuh buku gue. PR-nya jangan lupa!”
“Oke, siap!” sahut Rhea sembari memamerkan senyum termanis, mengantarkan Satria ke pojok belakang kelas dengan matanya.
“Jadi malu nih, kok gue bisa ngelamun sampe ke awal masuk kelas ini dan pertama ketemu Satria di saat yang malu-maluin itu ya? Udah lumayan lama juga gue sekelas dan suka sama dia. Kira-kira dia tau gak ya kalo gue suka sama dia?”
“Siapa sih, Rhe?”tanya Iva yang tiba-tiba udah duduk di samping Rhea. Rupanya Iva mendengar apa yang terakhir diucapkan Rhea. Padahal Rhea sudah berusaha memelankan suaranya sepelan-pelannya, dan Iva baru datang, entah dari mana.
“Ah, bukan kok, Va. Bukan siapa-siapa,” jawab Rhea.
“Sama sobat sendiri pake rahasiaan sih, Rhe? Siapa sih yang loe suka? Dari kelas ini bukan?”
“Ah, bukan. Masa sih gue suka sama teman sekelas?” Pfffiiiuuuhhhh.... untung aja Iva nggak dengar semua omongan gue.
“Yang bener?”
“Iya. Eh, ngapain sih bahas gituan. Va, bantuin gue dong ngerjain PR ini. Please, ntar gue traktir bakso deh.” Rhea mengalihkan pembicaraan.
“Beneran? Oke deh,” ujar Iva setelah mikir beberapa saat.
“Thanks Iva, loe emang sobat gue yang paliiiiing baik,” kata Rhea sembari mencubit kedua pipi Iva gemas.
“Iya, iya semuanya juga tau kalo gue ini baik, tapi nggak usah pake nyubit dong,” protes Iva.
“Oh itu sebagai ungkapan rasa sayang gue ke loe, Va. Kerjain ya PR-nya, bye Iva...”
Dasar Rhea, dia malah main ke pojok belakang kelas. Alasannya sih mau tanya jadwal piket pada Davy, padahal sebenarnya mau dekat-dekat Satria, cowok yang dia suka diam-diam. Kebetulan waktu itu guru Kimia tidak masuk. Mereka hanya diberi tugas, dan tugas itu semua beres di tangan Iva. Sekretaris kelas yang jenius itu sudah mencatat jawaban di papan tulis, yang lain tinggal menyalin di buku tugas.
“Rhea, loe di mana sih?!” Iva bertanya dengan suara keras.
“Iya Va, gue datang....” jawab Rhea lalu buru-buru menghampiri Iva.
“Udah selesai nih, sekarang ke kantin yuk. Loe kan mau nraktir gue,” kali ini Iva agak berbisik.
“Oke deh, gue juga bosen di kelas,” sahut Rhea dengan suara pelan. Lalu teriaknya, “Satria, kita izin sebentar ya!”
“Hey mau ke mana kalian?” tanya Davy sang ketua kelas dengan nada agak tinggi.
“Aduh Davy, kita berdua kebelet nih,” jawab Iva sembari memegangi perut dengan wajah nyengir.
“Ya udah, sana cepetan. Jangan lama-lama,” sahut Satria.
Iva dan Rhea buru-buru lari ke kantin.
“Aduh Davy, kita berdua kebelet nih. Kebelet pengen makan, ha...ha...ha...” ujar Rhea dan Iva bersamaan sesampainya di kantin.
“Percaya aja tuh si Davy, padahal hampir tiap hari kita izinnya sama,” komentar Iva sembari meniup-niup baksonya.
“Satria juga. ‘Ya udah, sana cepetan. Jangan lama-lama...’ di sini maksudnya,” sambung Rhea yang sedang mengaduk-aduk bakso di mangkoknya.
Kantin sepi waktu mereka makan. Jelas, mereka kan kabur begitu saja ketika yang lain belajar di kelas.
Hening sejenak. Masing-masing menikmati bakso yang terhidang dengan khidmat. Di tengah keheningan itu terdengar suar dari atap kantin yang berbahan seng.
“Hujan, Va!” seru Rhea.
“Biarin. Toh, kita di sini aman-aman aja. Rhe, tepat banget kan pas ujan makan bakso panas,” kata Iva santai. Dia memang penggemar beratnya bola-bola daging itu.
“Ini udah tengah-tengahnya bulan September ya, Va”
“He-eh, udah masuk musim hujan. Ntar lagi banjir deh.”
“Iva! Enteng banget sih, ngomong gitu.”
“Kenapa Rhe? Bener kan?”
Mereka menikmati bakso langganan dalam diam. Suara air yang tumpah dari langit ke atap seng menenggelamkan obrolan mereka. Ketika membayar pun mereka perlu berteriak mengimbangi suara hujan.
Selesai makan mereka kembali ke kelas. Angin dingin bertiup mengiringi langkah mereka sepanjang koridor. Hujan siang itu turun cukup deras, bahkan sampai mereka pulang pun hujan belum juga reda.
Gerimis turun saat Rhea berangkat ke sekolah pagi itu. Ujung sepatunya basah terkena percikan air yang mengalir tipis di trotoar. Payung lipat warna pink motif bunga itu meindungi tubuhnya dari terpaan gerimis, tapi tidak bagi ujung sepatunya. Gerimis itu kian deras saat Rhea baru saja meletakkan tasnya di meja. Sesudah itu dia ke luar dan duduk di bangku panjang koridor.
“Satria kok belum datang ya? Tumben udah jam segini dia belum muncul, padahal biasanya duluan dia yang datang dari pada gue,” batin Rhea sambil mengarahkan matanya ke pintu gerbang sekolah. Udara dingin yang menusuk membuat Rhea merapatkan jaket bulu yang dipakainya. Di dalam kelas lebih hangat sebenarnya, tapi niat menunggu Satria membuat Rhea tetap bertahan di luar.
“Nunggu siapa sih, Rhe? Dari tadi mata loe ke gerbang melulu,” tanya Iva yang baru datang dari kantin. Dia baru sarapan di kantin.
“Ah, nggak nunggu siapa-siapa kok, Va,” jawab Rhea dan sejenak mengalihkan pandang dari pintu gerbang sekolah.
Baru saja Iva duduk di samping Rhea, seorang cowok menghampiri mereka.
“Iva! Loe sekretaris kelas XII IPA 1 kan?” tanya cowok itu.
“Iya. Kenapa, Gi?” Iva balik tanya.
“Nih, ada titipan dari Satria,” jawab Yogi sembari menyerahkan amplop putih yang sedikit basah kena air hujan.
“Makasih ya, Gi,” kata Iva.
“Oke,” sahut Yogi lalu berlari kecil ke kelasnya.
“Dari Satria? Coba lihat, Va,” ujar Rhea langsung merebut amplop putih itu dari tangan Iva. Dalam hati ia cemburu, kenapa Satria menitipkan surat untuk Iva, bukan untuknya. Cepat-cepat disobeknya ujung amplop dan dibacanya isinya. Selesai membaca surat dari Satria, Rhea mengembalikan surat itu dengan wajah cemberut.
“Kenapa, Rhe? Apa kata suratnya?” tanya Iva heran.
“Baca aja sendiri!”
“O... Satria sakit, jadi nggak masuk. Gue masuk dulu ya, Rhe, mau ngisi jurnal kelas.”
Satria sakit? Duh, tambatan mata di pojok belakang kelas itu tidak masuk. Kursi di pojok belakang kelas itu kosong selama beberapa hari.
Tiap kali Rhea melihat ke pojok belakang kelas, yang dilihatnya hanya kursi kosong. Tak ada pemilik wajah handsome itu di sana. Rhea jadi pediam dan seperti tidak memiliki semangat hidup selama Satria tidak masuk.
“Dav, kita nggak jenguk Satria?” tanya Rhea saat istirahat.
“Jauh, Rhea. Gue udah nelpon dia, dia bilang dia nggak apa-apa. Sakitnya ringan, tapi mamanya nggak ngasih izin dia pergi. Loe tau sendiri dia itu anak cowok satu-satunya, bungsu pula,” jawab Davy. “Kenapa sih, Rhe? Kayaknya selama Satria nggak masuk loe kelihatan murung terus.”
“Ah, masa sih? Nggak apa-apa, gue baik-baik aja. Ya udah kalo gitu, makasih.”
CERPEN
CINTA
ANTARA SEPTEMBER DAN OKTOBER
DISUSUN OLEH
KELOMPOK
1. WIDYA MAHURI
2. WD. SITI RAULDIAH
3. ANDI HASNUL KHOTIMAH
4. FANI SARA
5.
SMA NEGERI 1 RAHA
2016
Demikianlah Artikel CERPEN ANTARA SEPTEMBER DAN OKTOBER
Sekianlah artikel CERPEN ANTARA SEPTEMBER DAN OKTOBER kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel CERPEN ANTARA SEPTEMBER DAN OKTOBER dengan alamat link https://contoh-definisi-pengertian.blogspot.com/2016/01/cerpen-antara-september-dan-oktober.html