Judul : Pragmatisme: akar interaksionalisme simbolik
link : Pragmatisme: akar interaksionalisme simbolik
Pragmatisme: akar interaksionalisme simbolik
Konsep pragmatism mula-mula dikemukakan oleh Charles Snadre Pierce (1839-1914); ia merupakan ahli filsafat dengan cakupan yang sangat luas. Ia dikenal cukup baik dikalangan filosof dengan tulisan-tulisannya tentang sifat alami kebenaran dan formulasinya yang ia pertahankan tentang prinsip-prinsip pragmatismenya. Walaupun demikian, sebenarnya banyak kalangan pragmatis khususnya dari amerika sendiri sebagai geografis kawah candradimuka pragmatism. Akan tetapi, pragmati yang sangat termasyur ada empat, yaitu Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), dan Richard Rorty (1931-2007).
Pragmatism berasal dari kata “pragma” (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan, atau perilaku. Ketika kata tersebut masuk dalam lingkup filsafat dan digunakan untuk melebeli suatu aliran, maka pragmatism menjadi suatu entitas yang oleh banyak kalangan dikatanan sebagai suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang berguna tentang permasalahan dengan melihat kausalitas berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis; atau dengan kata lain yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis atau memuaskan. Artinya, ukuran benar suatu entitas sangat tergantung pada akibat yang ditimbulkan sebagai sisi kepraksisan terhadap manusia itu sendiri.
Dari deskripsi tersebut ada makna laten yang terkandung didalamnya yaitu fikiran fakta tentang kebenaran mengikuti tindakan atau perbuatan. Titik tekan pandangan pragmatism ini adalah nilai kemanfaatan, sehingga sesuatu tersebut dianggap memiliki standar kebenaran jika ia mempunyai aspek atau nilai kemanfaatan. Oleh sebab itu, pragmatism akan bersedia meneriama segala sesuatu apabila ia membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi (empirical-subjektif), kebenaran mistis (ontological-metafisika) dan pengetahuan sains (empirical-logis dan verifikasi) bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan jika ia membawa akibat yang praktis dan bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian, standar pragmatism termasuk dalam mengurai kebenaran adalah manfaat bagi hidup praktis manusia atau benar apabila membawa suatu hasil.
Dengan demikian, pragmatism bisa dikatakan sebagai suatu aliran filsafat yang anatomi teori masuk ke dalam pembahasan megenai teori kebenaran (theory of truth). Hal ini didasarkan pada pandangan-pandangan yang dilontarkan tokoh-tokoh pragmatism seperti William James banyak mengenai fakta kebenaran tersebut. Ia mengajukan sebuah bentuk tes-pragmatik yang didalamnya menyatakan ters atas teori, kepercayaan, ajaran harus didasarkan pada hasil-hasilnya, akibat-akibat praktisnya; kebenaran bukanlah tujaun melainkan sarana permulaan bagi tercapainya kepuasan hidup manusia; kebenaran merupakan sarana bagi kepentingan kehidupan, yang ada sebagai kemanfaatan praktis. Idea-idea yang besar adalah yang dapat diolah, disahkan, diperkokoh dan dibuktikan kebenarannya secara empiris, dengan demikian, kebenaran itu berguna sebab benar, hal itu benar karena berguna. Bahkan sebelum William James, Charles S. Pierce juga memberikan batasan pasti, sesuatu dikatakan benar jika ia memang memberikan atau memuat hasil yang praktis. Walaupun memberi pernyataan demikain, Charles S. Pierce sendiri menyatakan, pragmatism sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalahnya sendiri.
Pertanyaan tersebut mengindikasikan sikap yang dibagun pragmatis bukan merupakan sebuah teori yang tangguh, sehingga ada kalangan memberikan pernyataan bahwa pragmatism is not so much fully worked out theory as a method of doing philosophy. For the pragmatist, the point is to change the world, not simply to try in some analytical and abstract fashion to understand it. The pragmatists reject all a priori claims and abstract speculation not because they fail to find such things interesting, but because the find a way in which interest in them moves philosophy from the purely speculation to the practical. Kritik yang demikian minor tersebut tidak menjadikan pragmatis melepaskan prinsipnya, mereka tetap menaruh perhatian pada tatanan praktik. Sebab mereka memandang kehidupan manusia sebagai suatu perjuangan yang berlangsung terus-menerus dan akan terus bergumul dengan tantangan yang ada. Dari konteks ini yang dipentingkan adalah efek-efek yang bersifat praktis, dimana konsekuensi ini memiliki korelasi dengan makna kebenaran. William James pada apek ini memberikan satu rangka bahwa kebenaran merupakan satu spesies kebaikan, bukan kategori yang terpisah. Kebenaran terjadi pada ide; kebenaran dibuat benar oleh peristiwa-peristiwa. Benarlah perkataan para intelektualis bahwa ide yang benar pasti sesuai dengan realitas, tetapi “sesuai” tidak berarti “menyalin.” “Sesuai” dalam pengertian terluas dalam realitas hanya dapat berate dituntut lurus menuju realitas atau menuju sekelilingnya, atau diletakkan kedalam sentuhan yang bekerja semacam itu dengannya ketika menanganinya atau sesuatu yang terhubung denganya lebih baik dari pada jika kita tidak setuju.
Dari deskripsi tersebut ada makna laten yang terkandung didalamnya yaitu fikiran fakta tentang kebenaran mengikuti tindakan atau perbuatan. Titik tekan pandangan pragmatism ini adalah nilai kemanfaatan, sehingga sesuatu tersebut dianggap memiliki standar kebenaran jika ia mempunyai aspek atau nilai kemanfaatan. Oleh sebab itu, pragmatism akan bersedia meneriama segala sesuatu apabila ia membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi (empirical-subjektif), kebenaran mistis (ontological-metafisika) dan pengetahuan sains (empirical-logis dan verifikasi) bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan jika ia membawa akibat yang praktis dan bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian, standar pragmatism termasuk dalam mengurai kebenaran adalah manfaat bagi hidup praktis manusia atau benar apabila membawa suatu hasil.
Dengan demikian, pragmatism bisa dikatakan sebagai suatu aliran filsafat yang anatomi teori masuk ke dalam pembahasan megenai teori kebenaran (theory of truth). Hal ini didasarkan pada pandangan-pandangan yang dilontarkan tokoh-tokoh pragmatism seperti William James banyak mengenai fakta kebenaran tersebut. Ia mengajukan sebuah bentuk tes-pragmatik yang didalamnya menyatakan ters atas teori, kepercayaan, ajaran harus didasarkan pada hasil-hasilnya, akibat-akibat praktisnya; kebenaran bukanlah tujaun melainkan sarana permulaan bagi tercapainya kepuasan hidup manusia; kebenaran merupakan sarana bagi kepentingan kehidupan, yang ada sebagai kemanfaatan praktis. Idea-idea yang besar adalah yang dapat diolah, disahkan, diperkokoh dan dibuktikan kebenarannya secara empiris, dengan demikian, kebenaran itu berguna sebab benar, hal itu benar karena berguna. Bahkan sebelum William James, Charles S. Pierce juga memberikan batasan pasti, sesuatu dikatakan benar jika ia memang memberikan atau memuat hasil yang praktis. Walaupun memberi pernyataan demikain, Charles S. Pierce sendiri menyatakan, pragmatism sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalahnya sendiri.
Pertanyaan tersebut mengindikasikan sikap yang dibagun pragmatis bukan merupakan sebuah teori yang tangguh, sehingga ada kalangan memberikan pernyataan bahwa pragmatism is not so much fully worked out theory as a method of doing philosophy. For the pragmatist, the point is to change the world, not simply to try in some analytical and abstract fashion to understand it. The pragmatists reject all a priori claims and abstract speculation not because they fail to find such things interesting, but because the find a way in which interest in them moves philosophy from the purely speculation to the practical. Kritik yang demikian minor tersebut tidak menjadikan pragmatis melepaskan prinsipnya, mereka tetap menaruh perhatian pada tatanan praktik. Sebab mereka memandang kehidupan manusia sebagai suatu perjuangan yang berlangsung terus-menerus dan akan terus bergumul dengan tantangan yang ada. Dari konteks ini yang dipentingkan adalah efek-efek yang bersifat praktis, dimana konsekuensi ini memiliki korelasi dengan makna kebenaran. William James pada apek ini memberikan satu rangka bahwa kebenaran merupakan satu spesies kebaikan, bukan kategori yang terpisah. Kebenaran terjadi pada ide; kebenaran dibuat benar oleh peristiwa-peristiwa. Benarlah perkataan para intelektualis bahwa ide yang benar pasti sesuai dengan realitas, tetapi “sesuai” tidak berarti “menyalin.” “Sesuai” dalam pengertian terluas dalam realitas hanya dapat berate dituntut lurus menuju realitas atau menuju sekelilingnya, atau diletakkan kedalam sentuhan yang bekerja semacam itu dengannya ketika menanganinya atau sesuatu yang terhubung denganya lebih baik dari pada jika kita tidak setuju.
Bagian pertama
Bagian kedua
Bagian terakhir
Demikianlah Artikel Pragmatisme: akar interaksionalisme simbolik
Sekianlah artikel Pragmatisme: akar interaksionalisme simbolik kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Pragmatisme: akar interaksionalisme simbolik dengan alamat link https://contoh-definisi-pengertian.blogspot.com/2015/03/pragmatisme-akar-interaksionalisme_32.html