SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP

SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP - Hallo sahabat CONDENPE, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel hukum pidana, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP
link : SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP

Kamu Bisa Download File SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP di bawah ini !

Baca juga


SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP

BAB II


Bahwa yang menjadi dasar pertama bagi pelaku hukum pidana di Indonesia adalah azas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 KUHP, karena azas legalitas menayatakan dapat dipidananya seseorang atas waktu delik yang dilakukan apabila delik itutelah dinyatakan secara tertulis dalam undang-undang.
menurut VON FEURBACH (RONI WIYANTO 2012 halaman 78) azas legalitas yang dirumuskan tersebut mengandung tiga pengertian:
A. Nulla poena sine lege (tidak ada hukuman, kalau tidak ada undang-undang);
B. Nulla poena Sine crimine (Tidak ada hukuman kalau tidak ada kejahatan);
C. Nullum crimen sine poena legali (Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan undang-undang).
Namun demikian, azas legalitas yang ditentukan dalam pasal 1ayat 1 sebagaimana tersebut dalam uraian di atas dalam sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia ternyata tidak diterapkan secara murni dan azas legalitas menjadi tidak berlaku apabila undang-undang pidana yang diadakan menentukan lain. Pengecualian tersebut dapat dicermati uraian pasal 1 ayat 2 KUHP mempunyai makna bahwa penerapan undang-undang pidana dapat berlaku surut ataubersifat retroaktif sebagaimana yang dimaksud pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu apabila terdapat perubahan undang-undang pidana setelah tindak pidana itu dilakukan, maka ketentuan pidana yang didakwakan kepada terdakwa dipilihkan ketentuan pidana yang menguntungkan atau yang teringan bagi terdakwa.
Namun demikian, dengan adanya uraian pasal 1 ayat 2 tersebut adalah untuk menjamin suatu kepastian hukum apabila terjadi kevakuman hukum dalam perubahan undang-undang pidana itu sendiri.
Suatu contoh perubahan undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah dirubah dengan undang-undang 31 tahun 1999.
Selain berlakunya hukum pidana menurut waktu sebagaimana duraikan di atas hukum pidana juga berlku menurut tempat dan orang yang dikenal dengan:
1. Azas teritorial atau azas wilayah
Azas teritorial atau yang disebut dengan azas wilayah adalah azas berlakunya hukum pidana pada suatu wilayah negara yang bersangkutan. Azas ini berlaku karena dilandaskan pada kedaulatan negara dan merupakan azas pokok berlakunya hukum pidana sebagaimana diatur dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi ketentuan pidana dalam perundang-undangan dengan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia sehingga yang menjadi dasar kekuatan berlakunya hukum pidana adalah wilayah dari negara itu sendiri sehingga tidak emmepersoalkan pelaku tindak pidana apakah itu warga negara indonesia apakah itu warga negara asing. Kemudian azas teritorial sebagaimana dimaksud di atas diperluas dalam ketentuan pasal 3 KUHP yang berbunyi Ketentuan pidana yang ada dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air (kapal Indonesia) atau pesawat udara Indonesia, sehingga mengandung maksud bahwa kekuatan berlakunya hukum pidana tidak hanya didasarkan pada wilayah negara tetapi dalam kapal laut atau pesawat udara Indonesia yang sedang melakukan perjalana di luar batas wilayah Indonesia.
2. Azas Personalitas atau nasional aktif
Azas personalitas adalah azas kekuatan berlakunya hukum dengan menitik beratkan kepada status kewarganegaraan si pelaku tindak pidana dalam arti kekuatan berlakunya hukum pidana suatu negara akan selalu mengikuti kemanapun warga negaranya berada atau bagi hukum Indonesia hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga negara Indonesia dimanapun ia berada.
3. Azas Perlindungan dan Azas Nasional Pasif
Azas perlindungan atau azas nasional pasif adalah suatu azas mengenai berlakunya hukum pidana suatu negara berlaku bagi semua tindak pidana yang dilakukan di luar negeri dan dianggap membahayakan atau melanggar kepentingan hukum negara yang berasangkutan dalam arti apabila warga negara Indonesia maupun warga negara asing melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia tetapi perbuatan itu bersifat menyerang kepentingan hukum negara Indonesia maka si pelaku dapat dipertanggung jawabkan telah melanggar hukum pidana Indonesia.
4. Azas Universal
Adalah kekuatan berlakunya hukum pidana yang ditujukan untuk menjaga kepentingan internasional. Azas universal ini juga dapat dikatakan untuk menunjukkan hokum pidana melampaui batas kewilayahan dan azas personalitas sebagai pengecualiannya, dalam hal ini hokum pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia maupun warga Negara asing yang melakukan tindak pidana, baik dilakukan di dalam wilayah Indonesia maupun di luar negeri dalam arti kekuatan hokum pidana berlaku bagi siapapun dan dimanapun tindak pidana dilakukan.

Tentang Pemidanaan
Dalam buku 1dijelaskan mengenai penjatuhan pidana terdiri dari dua hal yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana pokok ada 4:
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Denda

Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Putusan hakim

Untuk pidana penjara lamanya adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu dan pidana selama waktu tertentu tersebut paling pendek satu hari yang dikenal dengan azas minima umum dan paling lama lima belas tahun berturut-turut yang dikenal dengan azas maksima umum dan pidana penjara selama waktu tertentu tersebut boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun apabila adanya perbarengan perbuatan (concursus), pengulangan (residiv). Namun perlu diketahui bahwa pidana selama waktu tertentu tidak boleh melebihi dari 20 tahun.
Di dalam sistem penjatuhan pidana hukum di Indonesia mengenal istilah pidana bersyarat atau dikenal dengan hukuman percobaan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa untuk paling lama 1 tahun dan di dalam putusannya hakim dapat memerintahkan bahwa pidana tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain yang disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis masa waktunya. Atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah (putusan hakim) dimaksud.
Didalam menjalankan pidana bagi terpidana bias diterapkan pelepasan bersyarat yaitu jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan padanya dengan persyaratan sekurang-kurangnya Sembilan bulan maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat dan dalam memberikan pelepasan bersyarat tersebut ditentukan pula suatu masa percobaan serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Kecuali pidana penjara seperti tersebut di atas ditentukan mengenai pidana kurungan paling sedikit adalah satu hari paling lama satu tahun.
Di dalam sistem pemidanaan di Indonesia yang diatur dalam buku 2 mengenai kejahatan hanya dikenal dengan system pemidanaan yang mendasarkan pada azas minima umum dan maksima khusus dalam arti minimal hukuman yang diancamkan kepada pelaku tindak pidana adalah satu hari dan maksimal yang diancamkan kepada terdakwa adalah menurut perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan sebagaimana telah diatur dalam setiap pasal buku 2 KUHP (dalam hal ini berbeda dengan ancaman pidana dalam tindak pidana khusus).
Untuk penjatuhan pidana denda di dalam buku 1 KUHP diatur mengenai lamanya kurungan pengganti yaitu paling sedikit adalah satu hari dan paling lama enam bulan. Namun apabila terjadi perbarengan atau pengulangan terhadap pelaku tindak pidana dapat dijatuhkan kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
Untuk perampasan barang-barang kepunyaan terpidana baik yang diperoleh dari kejahatan atau merupakan alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas, yang pada dasarnya dalam system pembuktian tahap persidangan adalah merupakan barang bukti yang dapat dijadikan alat bukti sebagai dimaksud pasal 184 KUHAP.

Tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana
Pasal 55 ayat 1 berbunyi “dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana: kesatu, mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. Perbuatan dimaksud adalah dineal dengan sistilah melakukan perbuatan secara bersama dalam arti terjadinya perbuatan secara bersama tersebut karena adanya kesadaran antara dua pelaku tindak pidana atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan akibat adanya sangsi pidana, hal tersebut bias diuraikan lebih lanjut yaitu dengan adanya pembicaraan, perencanaas, pembagian tugas untuk melakukan perbuatan yang melanggar suatu ketentuan pidana dan dilakukan secara sadar oleh masing-masing pelaku. Perbuatan bersama-sama tersebut yang dinamakan penyertaan berbeda dengan pembantuan sebagaimana dimaksud pasal 56 KUHP yang mengandung makna bahwa pembantuan itu dilakukan dengan sengaja dan terjadi pada waktu kejahatan dilakukan atau sengaja memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan sebelum kejahatan dilakukan sehingga penyertaan yang dimaksud pasal 55 ayat 1 tersebut di atas masing-masing pelaku mempunyai tingkat kesadaran untuk melakukan kejahatan dan mempunyai peran aktif masing-masing untuk melakukan kejahatan dalam pembantuan yang mempunyai peran aktif di sini adalah bukan pelaku utamanya, jadi antara pelaku utama dan yang melakukan bantuan tidak ada pembicaraan, tidak ada perencanaan, tidak ada kesepakatan dan tidak ada pembagian tugas sebelum perbuatan dilakukan. Kedua, mereka yang memberi atau yang menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan (sengaja menganjurkan orang lain untuk melakukan perbuatan).

Tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana
Bagi seseorang yang telah diadili dengan putusan yang telah memperoleh hukum tetap orang tersebut tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang sama termasuk putusan yang menjadi tetap tersebut berasal dari hakim lain maka terhadap orang itu dan arena perbuatan pidana itu pula tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal putusan berupa pembebasan dari dakwaan atau pelepasan dari tuntutan hokum. Kedua putusan berupa pemidanaan namun pidananya telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankan putusan tersebut telah hapus karena daluwarsa (istilah tersebut dikenal nebis in idem). Selain nebis in idem kewenangan menuntut pidana juga hapus karena terdakwa meninggal dunia termasuk adanya tenggang daluwarsa penuntutan terhadap terdakwa dengan criteria kesatu untuk pelanggaran dan kejahatan dengan percetakan sesudah satu tahun kedua kejahatan yang diancam denda, kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun sesudah enam tahun, ketiga kejahatan yang diancam dengan pidana lebih tiga tahun sesudah dua belas tahun. Keempat kejahatan yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sesudah delapan belas tahun.

Catatan: bahwa penundaan penuntutan pidana berhubung adanya perselisihan pra yudisiil (munculnya kasus keperdataan) menunda jalannya daluwarsa.
Pada prinsipnya tenggang daluwarsa untuk menjalankan pidana bagi kejahatan-kejahatan selain pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya tenggang daluwarsa menjalankan pidana sama dengan lamanya tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana ditambah sepertiga tetapi tenggang daluwarsa menjalankan pidana mati tidak dikenal dalam system KUHP.
Catatan: jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana maka pada esok harinya setelah melarikan diri baru dihitung masa berlakunya tenggang daluwarsanya

Bahwa azas-azas pokok yang terkandung dalam buku satu tersebut dapat diberlakukan pada ketentuan tindak pidana khusus dengan mengacu pada ketentuan pasal 103 KUHP sebagai aturan peralihan.



Demikianlah Artikel SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP

Sekianlah artikel SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel SELUK BELUK AZAS PIDANA DALAM BUKU SATU KUHP dengan alamat link https://contoh-definisi-pengertian.blogspot.com/2013/11/seluk-beluk-azas-pidana-dalam-buku-satu.html